Begitulah Adanya Oleh Nadia Rahmatika
(289 Views) April 9, 2023 6:32 am | Published by owner | No commentHalo sahabat duniamenulis.com?
Kali ini admin memuat sebuah cerpen terbaru. Cerpen apakah itu? Pengen tau? Yu baca cerpen terbaru di bawah ini.
Cerpen terbaru kali ini di tulis oleh Nadia Rahmatika. Penasaran isi cerpen terbaru saat ini? Langsung saja yu ke cerpen terbarunya.
Selamat membaca cerpennya.
Begitulah Adanya
Oleh Nadia Rahmatika
Apa yang membuat hidupmu gamang sehingga tidak puas dengan apa yang telah kamu lalui? Jika kamu menginginkan pendapatku silahkan menyimak hingga titik akhir tulisan ini. Seperti yang sering kamu dengar kalau hidup itu adalah pilihan, maka setidaknya kamu memilih yang tidak membuat hidupmu susah. Bersikaplah bijak dalam menentukan suatu hal untuk hidupmu, karena hidupmu itu berharga.
Yola, begitulah aku sering dipanggil oleh orang di sekitarku. Sehari-hariku menjadi mahasiswa sastra inggris semester empat di suatu universitas swasta dengan kerja paruh waktuku sebagai pelayan di suatu cafe. Dengan bertempat tinggal sementara di kos-kosan dekat kampus aku tidak memerlukan kendaraan pribadi untuk dimiliki. Cukup memakai fasilitas umum untuk berpergian jauh.
“Selamat pagi ayang!”, sapaan ceria menyambutku di depan kos-kosanku. Dana menjemputku seperti biasa, dia pacarku selama setahun ini. Dia anak satu program studiku dan mengambil mata kuliah yang sama denganku agar bisa menjemputku katanya.
“Pagi juga, aku sudah bilang tidak perlu menjemputku setiap hari. Kampus hanya berjarak beberapa langkah saja dari kos-kosanku.” Aku hanya merasa mudah saja jika hanya berjalan, walaupun aku dijemput juga hanya memerlukan beberapa menit saja jika berkendara menuju tempat parkir kampus. Sama saja dengan berjalan, waktuku tidak akan terbuang banyak.
“Terus apa gunanya aku ayang kalau tidak mengantar kamu?” pertanyaan yang selalu keluar dari mulutnya berkali-kali. “Kamu itu pacarku ayang bukan abang So Car, masa nganterin terus ke kampus yang cuma beberapa langkah saja.” kataku menanggapi perkataannya itu. “Yah! Masa aku disamain sama abang So Car sih. Beda lah ayang, aku kan mengantar dengan cinta. Kalau abang So Car nggak pakai.” Aku tidak mau lagi menanggapi gombalan itu lagi sebelum menjadi semakin panjang dan menyebabkan kami telat masuk kelas. Mobilpun melaju dengan cepat dan hanya memerlukan kurang dari lima menit untuk menuju tempat parkir kampus. Tanpa berkata-kata lagi kami segera menuju kelas yang akan segera dimulai.
“Hati-hati ayang! Jangan pulang larut nanti diculik om-om.” Kami telah sampai di tempat kerjaku. Aku memeluknya singkat lalu tersenyum untuk menanggapi kalimat darinya itu. Sebelum keluar mobil sempat aku melihat sebuah produk perona bibir di atas dashboard mobil, padahal aku ingat tidak pernah membawanya ke dalam mobil. Aku segera mengusir bayang-bayang aneh yang mengusik pikiranku. “Iya ayang, hati-hati juga. Jangan sampai kamu yang nyulik tante-tante,” aku akhirnya menaggapi perkataannya itu karena benda pengusik itu. Setelah itu aku segera pergi keluar mobil dan masuk café tempatku bekerja.
“Iya yah, nanti aku transfer uang untuk bulan ini. Nanti ayah setelah aku pulang kerja, gajinya dikasih setelah aku selesai kerja hari ini.” Tuuttt…, suara panggilan yang diputus secara berpihak membuatku menggerutu. Ayahku yang hanya tinggal sendiri di pinggiran kota menghabiskan sisa hidupnya sendirian dan entah apa yang beliau lakukan. Ibu meninggal setelah aku lulus SMA. Keberadaan Ibu yang sudah tiada membuat hidup ayahku yang tadinya serabutan menjadi hampa karena ditinggal seroang istri dan menyisakan hanya aku anak satu-satunya. Sebenarnya aku tidak tega meninggalkan rumah, tapi jika aku tidak merantau siapa yang akan menafkahi keluarga ini.
Ah, café hari ini ramai hingga badanku pegal-pegal. Aku bergumam sembari merenggangkan badanku yang sedari tadi bekerja. Dalam perjalanan pulang aku menyempatkan untuk membeli black forest untuk merayakan ulang tahun Dana. Mungkin aku terlalu sibuk bagi dia, namun aku tetaplah pacar yang peduli dengan pasangannya.
Tepat pukul dua belas aku sampai di depan kamar apartemennya, pip… Suara halus tanda pintu apartement terbuka. Sepasang sneakers dan high heels merah menyambutku seolah mengatakan “Kamu pergi saja!”. Aku sudah menduga ini saat melihat perona bibir yang ada di dashboard mobil Dana, aroma yang berbeda di salah satu baju yang dipakai Dana waktu itu dan kali ini high heels yang terpampang di rak sepatu. Aku menahan gejolak yang sudah sampai ubun-ubun agar tidak keluar sebelum waktunya. Terdengar suara desahan tak beraturan dari arah dapur. Aku menyiapkan hati agar tidak kecewa, meskipun melihat hal yang menjijikkan itu. Benar saja ketika aku sampai di dapur yang tak berpintu itu terlihat Dana dan wanita yang terlihat lebih tua darinya sedang melakukan zina dengan pakaian yang sudah tanggal menyisakan celana pendek yang melekat pada Dana dan rok mini pada wanita itu. Prangg.., suara pecahan segelas bir yang terisi setengah, sengaja aku menjatuhkannya untuk memberitahukan kehadiranku.
“Yola…” Panggilan yang sudah punah satu tahun yang lalu kembali muncul. “Gintang Pradana selamat ulang tahun, semoga hubungan kalian langgeng ya” Aku menaruh black forest yang aku beli di atas meja makan dan beranjak dari tempat yang bagaikan jahanam itu. “Tunggu Yola, bukan begini caranya” Dana mencegah pergerakannku yang ingin segera keluar dari apartement itu. “Apa yang perlu kamu jelaskan lagi Dana, apa yang aku lihat sudah menjelaskan semua perbuatan kalian”, aku menyanggah pembelaan Dana. “Yola, ini bukan salah Dana. Lu yang salah! Pacar kesepian malah ditinggal”, cewek yang sudah membenahi pakaiannya itu membela Dana dengan santai. “Wanita licik kamu tidak akan pernah memahami kisah kami. Dana kalau memang kamu tidak nyaman dengan status pacarana ini mengapa kamu begitu memaksa kita berpacaran dulu? Dahulu waktu kita hanya berteman bukankah semuanya baik-baik saja? Inilah yang aku tidak sukai dalam suatu ikatan, kalau kamu sudah bosan aku saja yang pergi.” Aku akhirnya mengucapkan kalimat terakhirku kepada Dana dan meninggalkan tempat itu meski Dana masih memanggil-manggil namanya.
Suara kicauan burung yang berisik membuatku terbangun dari tidur. 06:00, waktu masih menunjukkan bahwa sekarang masih pagi. Aku tidak pernah bangun sepagi ini sewaktu masih berpacaran dengan Dana. Dulu kami selalu bercengkrama di apatemen Dana hingga larut pagi dan akhirnya Dana mengantarkanku yang tertidur ke kosanku. Namun kali ini tidak ada yang perlu ditemani, aku memutuskan untuk jogging sebentar di sekitar kompleks kosanku. Ketika jam menunjukkan pukul delapan aku segera pulang dan bersiap untuk masuk kuliah.
“Tumben sudah datang, siapa duduk di sampingmu?” suara Dana membuyarkan keseriusanku pada ponsel. Aku mengedarkan pandanganku kesekitar dan menemukan seseorang “Kinan, sini duduk disampingku”. Aku menyuruh salah seorang anak kelasku untuk duduk di sampingku. Kinan terheran-heran karena aku memang tidak pernah duduk di baris depan apalagi duduk dengan teman perempuanku. Namun kali ini aku memutuskan untuk jauh dari Dana, apalagi jika itu membuahkan hal-hal yang baik. “Yola, aku minta maaf. Kemarin itu Cuma kecelakaan, aku tidak berbuat lebih”, Dana mengucapkan permintaan maafnya. “Apa menurutmu itu hanya kecelakaan? Kamu tidak berbuat lebih karena aku tiba-tiba datang. Sudahlah Dana, kita sebaiknya mengakhiri saja daripada merasa terbebani.” Kinan hanya bingung apa yang terjadi dengan kami dan hanya berdiri di samping bangku. “Sini Kinan duduk di sampingku” akhirnya Kinan duduk di sampingku dan Dana meninggalkan baris depan dan menuju tempat yang biasa kami tempati bersama.
Prang…, suara gelas kosong yang jatuh membuat aku menjadi pusat perhatian. Tepat sekali tebakan kalian, karena akulah yang menjatuhkannya. Beruntung sekali tidak ada isinya jadi aku segera membereskannya dan membuang ke tempat sampah. Drrtt…, setelah aku menyuci tanganku ponselku bergetar. Bulik Eka. Nama itu terpampang di layer ponselku, akupun segera menjawab panggilan itu. “Halo Yola, kamu yang tabah ya sayang. Ayahmu pagi ini meninggal sayang, sudah dikebumikan dari tadi pagi. Maaf bulik baru memberitahu kamu, takutnya kamu terbebani. Kamu tidak usah kesini saying, nanti bulik yang mengunjungi kamu saja. Ayahmu punya utang yang banyak, kata lintah darat yang tadi datang ayahmu belum pernah membayar. Katanya juga ayahmu pakai uangnya buat judi sama mabuk-mabuukan. Bulik juga baru tahu kabar ini sayang, maaf bulik jarang mengunjungi ayahmu.” Begitu aku jawab panggilan itu bulik Eka segera mengabari kabar penting itu. Aku terdiam sejenak mendengar berita yang tidak pernah kuduga sekalipun terjadi itu. “Halo Yola, kamu mendengarkan bulik tidak?” suara bulik kembali terdengar dan menyadarkanku dari lamunan. “Iya bulik, terimakasih bulik sudah mengurus ayah Yola. Maaf Yola juga belum bisa pulang, soalnya belum ada biaya juga, terimakasih bulik. Permisi dulu ya bulik, Yola masih kerja.” Panggilan dari bulik Eka masih membuatku lemas, aku minta izin ke bosku untuk pulang dahulu karena kabar itu. Akupun segera pulang ke kosanku.
Hembusan angin malam mengibaskan rambut sebahuku. Pemandangan malam ini terlihat berbeda dari biasanya. Rooftop kosanku terasa hampa, padahal cahaya dari lampu-lampu hias ramai menerangi malam. Aku duduk di atas kursi panjang ditemani dengan setumpuk camilan dan soda yang bermacam-macam. Aku hanya memikirkan mengapa uang yang aku beri kepada ayah berakhir di tempat judi. Ayah bilang jika beliau akan membuka toko kecil-kecilan, dengan alasan itu aku tidak ada yang dapat menumbuhkan rasa curigaku. Namun kenyataannya uang itu malah menumpuk menjadi utang yang banyak. Aku dapat memahami kekosongan hati ayah yang ditinggal ibuku, namun aku masih tidak menyangka ayahku malah menghabiskan sisa hidupnya dengan hal yang tidak terduga.
Drrrtt…, ponselku bergetar. Dana, nama itu terlihat di layer ponsel. Aku hanya membiarkan panggilan itu. Drrrt.., ponselku brgetar berkali-kali. Aku memutuskan untuk menerima panggilan itu. “Yola, yang sabar ya. Maaf di saat-saat begini aku tidak ada di sampingmu. Kamu baik-baik saja kan? Ambil saja sisi positfinya Yola, semua itu pasti ada hikmahnya. Kita yang berakhir putus ini juga memiliki hikmah. Jangan terlalu berlarut-larut terlalu kecewa dengan keadaanmu sekarang. Aku tahu kamu itu perempuan kuat Yola dan aku laki-laki yang telah membuatmu kecewa. Maafkan aku semoga kamu menjadi lebih kuat Yola.” Belum sempat aku menjawab perkataan Dana panggilan itu sudah ditutup. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya dan menghembuskannya kuat-kuat. Dana tidaklah seburuk yang kalian bayangkan, dia selalu memiliki cara untuk memperbaiki sesuatu walaupun tidak sempurna. Kurasa hidupku selanjutnya akan menemui bermacam kekecewaan lainnya disbanding sekarang. Ketiadaan Dana dan ayah mungkin yang meringankan hidupku sebagian. Bukan berarti mereka beban di dalam hidupku, tapi hal ini membuat diriku fokus untuk memperhatikan diri sendiri. Begitulah adanya kekecewaan membuahkan kesadaran akan hal-hal yang belum pernah terjamah.
Bagaimana pendapatmu terkait cerpen di atas?
Kamu suka membaca cerpen? Cerpen tema apa yang kamu suka?
No comment for Begitulah Adanya Oleh Nadia Rahmatika